Pahit Getirnya Hidupku (copas)

Kairo, 24 September 2010

Menikahlah denganku bang. Aku ingin menikah bang!!!”

Aku ingin menikmati pernikahan itu sendiri, bang!!!

Aku tau tak mudah untuk menjalani sebuah pernikahan, suatu ikatan erat yang tak bisa dimainkan layaknya orang yang berpacaran. Tapi aku inginkan itu, aku ingin menikmati susahnya menjadi seorang istri, mempunyai anak dan mengurus mereka..aku suka akan hal itu dan aku akan menganggapnya sebagai suatu ibadah karena ada tantangan yang harus aku lalui, disamping menjalankan roda rumah tangga juga berkarir untuk diriku sendiri”.

Ucapku setahun yang lalu kepada tunanganku, karena aku tak menginginkan status BERTUNANGAN menghinggap lebih lama dalam hidupku, toh bertunangan tak jauh berbeda dengan berpacaran, hanya saja kata bertunangan sedikit lebih terhormat pun indah untuk diperdengarkan oleh gendang telinga ini, menurutku.

Iapun menikahiku tiga bulan sebelum keberangkatan kami bersama-sama menimba ilmu di bumi seribu menara; Al-azhar university of Egypt. Sebuah lembaga dambaan sejuta ummat, termasuk aku.

Kehidupanku yang terhitung kurang lebih setahun ini, terasa indah pun normal-normal saja bak tanjakan kerikil tak ingin mengganggu kebahagiaanku bersama suami tercinta.

Langit lengkap dengan bulan dan bintangnya, berhiaskan roket yang mengitarinya, seolah ia turut merasakan kebahagiaan yang tengah menyelimutiku. Ya…Sang buah hati mungil terlahir dari rahimku, tak kuasa aku mengekspresikan rasa bahagia yang tengah menghampiriku ini. Aku adalah orang yang paling bahagia di dunia ini. “Pikirku kala itu”.

Bagaimana tidak, aku bersama suamiku menempati flat yang aduhai mahalnya, mafrusyah, berlantaikan keramik, kebutuhan primer kami selalu terpenuhi, masalah ekonomi tak pernah singgah dalam kehidupan kami, hingga aku bisa berkata ” Aku adalah orang yang paling bahagia di dunia ini”.

“Dek, bagaimana kalau mulai bulan depan ini, kita tidak usah minta kiriman bulanan lagi dari orang tua kita, abang malu mahu minta uang terus menerus, bukan hanya itu saja, adik abang yang di Indonesia baru saja mengirimkan sms, katanya, kebun karet kita sudah tidak ada yang mahu beli lagi, abang tidak enakan, biar abang yang bekerja” Ucap suamiku tiba-tiba

DEG, seketika itu jantungku serasa mahu copot. Dengan biaya flat yang super mahal, kebutuhan perut pun terus mengikuti arus zaman, ditambah dengan kebutuhan sikecil yang melambung tinggi. Ahh…Tuhan mampukah hamba menjalani hidup yang merupakan batu loncatan ini.

Bukan aku menyesali pernikahan ini, bukan pula aku ingin menghindar dari permasalahan yang tengah datang menyapaku ini, tapi aku menyesal dengan aku yang tak sedia payung sebelum hujan, karena pada hakikatnya manusia tak selamanya di atas, terkadang di atas juga terkadang di bawah seperti halnya iman seseorang; Yankush wayazid begitulah kadar iman kita.

Akupun beranjak meninggalkan flat yang begitu mewah itu, dan kami mendapatkan gantinya di daerah Madrasah yang tak jauh dengan gami’ ar-rasul. Sewa flatnya hanya 400 le perbulan, meskipun begitu, gaji suamiku yang hanya bekerja di math’am itu tak mampu menopang kebutuhan yang kian hari kian mencekik leher.

Aku tak kuasa melihat keadaan suamiku yang semakin kurus bak tak terurus, juga buah hatiku yang dekil. Maafkan ibu sayang, ibu tak bermaksud menelantarkanmu, keadaan yang memaksa ibu menjadi seperti ini.

Setiap hari aku mengantarkan Teri kering buatan suamiku ke math’am-math’am, tapi hasilnya tak seberapa. Ahh…andai saja aku pandai memasak, ya…paling tidak keterampilan membuat kue agar kondisi ekonomi kami sedikit terbantu.

“Dek, maafkan abang, abang belum bisa membelikanmu apa-apa, tabungan yang sudah terkumpul ini hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sikecil, untuk kita berdua belum ada, sabar dulu ya…!” Ucapnya ketika malam menunjukkan kegelapannya kala itu.

Demi menutup lubang perekonomian, setiap ada musa’adah, kamipun berbondong-bondong menyemarakkannya, hingga bisik-bisik itu terdengar oleh gendang telingaku.

“Lho yang didepan itu bukan orang Zahro kan, kok ambil musa’adah disini, biasa masisir yang sudah beristri ataupun yang bersuami pasti cari musa’adahnya urutan pertama, terlalu bersemangat” Kira-kira seperti itulah bisik-bisik yang mngusik daun telingaku ini.

Uang musa’adah yang kudapat hanya cukup untuk membelikan susu formula buah hati kami, ya…meskipun hanya satu bulan sholahiyahnya, tapi hatiku sudah sangat bahagia setidaknya anggaran kebutuhan sikecil lumayan terbantu.

Aku meminjam uang pada salah satu teman dekatku tanpa sepengetahuan suamiku, “maafkan aku bang, aku tak bermaksud berbuat lancang, aku hanya ingin membantumu mengurangi beban-beban selama 5 bulan kedepan ini kau tanggung sendiri”. Bisikku membatin.

Dengan uang pinjaman itu aku pergi ke bait Malaysia untuk kursus membuat kue, akhirnya akupun dinyatakan lulus dalam kursus itu. Suamiku kaget bukan main melihat perubahanku yang setiap hari-hariku kini disibukkan dengan hoby baruku; membuat kue.

Selain menyetorkan kue ke setiap math’am, juga mengantarkan menu sarapan pagi untuk banat yang menempati asrama Jam’iyah Syar’iyah (JS). Seperti itulah pekerjaanku setiap harinya.

Setiap pagi, aku harus pergi ke JS, dan siang aku harus ke math’am untuk menyetorkan kue, dan itu bukan hanya satu kue pun bukan hanya satu math’am, hingga kesibukanku yang seperti itu mampu menguras tenagaku.

Suamiku sibuk dengan pekerjaannya, akupun sibuk dengan mengurus anak dan hoby baruku; kreasi membuat kue, hingga study kami terbengkalai. Kami dinyatakan rosib dalam kertas natijah kami, suamiku rosib dan akupun rosib.

Kesibukan yang kami geluti bukanlah mutlak penyebab kegagalan kami dalam study, hanya saja kami lemah dalam memenej waktu, mungkin itu salah satu penyebab kegagalan kami.

Allah…ampunkanlah dosa hamba yang kurang menghargai waktu, hamba yang berkutat pada satu pekerjaan saja dan mengesampingkan yang lainnya.

***

Setahun kemudian

Aku terusir dari flat yang selama ini aku tempati, flat itu telah dijual oleh pemiliknya tanpa memberi tahu terlebih dahulu.

Allahu robby…cobaankah atau hukumankah ini, jikalau ini semua adalah hukuman, ampunkanlah segala dosa hamba dan jika sebaliknya, tunjukilah hamba sebuah penyelesaian yang mampu meredahkan hati hamba. “Fainna ma’al ‘usri yusron inna ma’al ‘usri yusron”, setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Aku sangat mempercayai akan firmanmu Tuhanku semesta alam.

Aku dengan keluarga kecilku menumpang di rumah teman yang sama-sama mahasiswa Al-azhar, juga sama-sama sudah menikah. Flat yang ia tempati lumayan besar, ya…cukup untuk dihuni 2 keluarga.

Sampai saat ini suamiku belum juga menemukan tempat tinngal yang cocok, tentunya, cocok dengan kondisi keuangan kami saat ini, tapi setidaknya flat seharga 500 le yang berhunikan 2 keluarga itu cukup membantu kondisi perekonomian yang tengah menggelayutiku.

Tahun kedua aku rosib, begitupun dengan tahun ketiga, akhirnya aku mafsul.

Terpaksa aku pindah jurusan fakultas, dimana fakultas semula yang aku geluti adalah fakultas Ushuluddin, kini aku mencoba untuk mewarnai hidupku yang semakin kelabu di fakultas Syariah islamiyah.

Langit mendung memperlihatkan tanda akan turun hujan, burung-burung yang sedari tadi berkicau pun mendadak berhenti, seakan-akan tahu akan gejolak hatiku yang remuk redam bak di hantam gondam, kabar itu serasa mampu merobek-robek hatiku, ya…kabar tentang kerosibanku di fakultas baruku.

Allah…sampai detik ini kau belum memberikan kesempatan untukku merasakan kenajahan, tidak pantaskah hamba untuk mencicipi rasa itu, rasa bahagia yang dirasakan oleh masisir sebayaku tiap kenaikan kelas. “Gumamku membatin”.

Semangat untuk menggapai kesuksesan terus menderu debu dalam jiwaku hingga saat ini, demi menunggu datangnya secercah sinar mentari menghampiriku dan menyunggingkan senyum merekah untukku.

***

Agama islam sangat indah dengan syariatnya, yang mana syariat itu bukan hanya sebagai aturan, akan tetapi hakikatnya adalah kebutuhan kita sendiri demi kebahagiaan dunia akhirat, dalam al-qur’an, dan sunnah rasul pun sudah tersurat jelas hikmah dianjurkannya menikah, salah satunya adalah hifdzun-nasl.

Kita menilai pernikahan itu jangan hanya melihat dari satu sisi saja, kita harus bijak dalam mempertimbangkanya, karena dalam segala perintah allah, termasuk pernikahan, ada dua hal yang harus kita sadari.

1. Amrun mathlub.

2. Amrun madhmun.

Amrun mathlub adalah usaha dan tawakal kita kepada Allah, karena hasil dari semua itu ada di tanganNYA dan itu yang dinamakan dengan amrun madhmun (jaminan Allah).

Contoh: kita diperintahkan untuk mencari ilmu (amrun mathlub), janji Allah kepada tholibul’ilmi dalam al-qur’annya; “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang menuntut ilmu” (amrun madhmun atau jaminan Allah kepada penuntut ilmu tersebut).

Amrun mathlub dalam hal ini adalah pernikahan, amrun madhmunnya adalah Allah akan menjadikannya kaya, tetapi kekayaan itu sendiri tidak bisa diperoleh dengan hanya berpangku tangan saja, karena hakikat amrun mathlub adalah usaha dan tawakkal.

Seharusnya kita tidak boleh merasa cemas akan datangnya rizki, karena rizki sendiri telah di tentukan olehNYA sejak zaman azali; sebelum kita lahir, kita di fasilitasi akal pikiran dan tubuh yang sempurna untuk mudah memperoleh rizki tsb. Hewan pun Allah jatahkan rizki untuk mereka, yang termaktub dalam firmannya; QS. Hud .6 yang artinya, “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah lah yang memberi rizkinya, dan dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya, semuanya tertulis dalam kitab yang nyata”.

“Abi…Abi… aku masih ingat alif, ba, ta, tsa..”

Membaca kisah ini membuatku ingat akan Kebesaran Allah dan ingat bahwa Allah selalu akan menyelamatkan keturunan orang-orang shaleh..

copas

Kisah Hidup Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy

Suatu petang, di Tahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang di situ terasa hening mencengkam. Jendral Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan.

Setiap tahanan penjara membungkukkan badannya rendah-rendah ketika ‘algojo penjara’ itu melintasi di hadapan mereka. Karena kalau tidak, sepatu ‘boot keras’ milik tuan Roberto yang fanatik Kristian itu akan mendarat di wajah mereka. Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci.

“Hai…hentikan suara jelekmu! Hentikan…!” Teriak Roberto sekeras-kerasnya sambil membelalakkan mata.

Namun apa yang terjadi? Laki-laki di kamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu’nya. Roberto bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk satu orang.

Dengan marah ia menyemburkan ludahnya ke wajah tua sang tahanan yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyundut wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala. Sungguh ajaib… Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan.

Bibir yang pucat kering milik sang tahanan amat galak untuk meneriakkan kata Rabbi, wa ana ‘abduka… Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, “Bersabarlah wahai ustaz…Insya Allah tempatmu di Syurga.”

Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustaz oleh sesama tahanan, ‘algojo penjara’ itu bertambah memuncak marahnya. Ia memerintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-kerasnya sehingga terjerembab di lantai.

“Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa hinamu itu?! Aku tidak suka apa-apa yang berhubung dengan agamamu! Ketahuilah orang tua dungu, bumi Sepanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan bapa kami, Tuhan Jesus. Anda telah membuat aku benci dan geram dengan ‘suara-suara’ yang seharusnya tidak didengari lagi di sini. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau mau minta maaf dan masuk agama kami.”

Mendengar “khutbah” itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan yang tajam dan dingin. Ia lalu berucap, “Sungguh…aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, Allah. Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemauanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh.”

Sejurus saja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah berlumuran darah. Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah ‘buku kecil’. Adolf Roberto berusaha memungutnya. Namun tangan sang Ustaz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat.

“Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!” bentak Roberto.

“Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!”ucap sang ustaz dengan tatapan menghina pada Roberto.

Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu lars seberat dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustaz yang telah lemah.

Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan ‘algojo penjara’ itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur.

Setelah tangan tua itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya berang. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh. Mendadak algojo itu termenung.

“Ah…seperti aku pernah mengenal buku ini. Tetapi kapan? Ya, aku pernah mengenal buku ini.”

Suara hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu. Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan “aneh” dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Sepanyol.

Akhirnya Roberto duduk di samping sang ustaz yang sedang melepaskan nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak.

Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Pemuda itu teringat ketika suatu petang di masa kanak-kanaknya terjadi kekacauan besar di negeri tempat kelahirannya ini. Petang itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa gugur di bumi Andalusia.

Di ujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab) digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin petang yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara. Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mau memasuki agama yang dibawa oleh para rahib.

Seorang anak- anak laki-laki lucu dan tampan, berumur sekitar tujuh tahun, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua. Bocah lucu itu melimpahkan airmatanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan-lahan bocah itu mendekati tubuh sang ummi yang tak sudah bernyawa, sambil menggayuti abinya. Sang anak itu berkata dengan suara parau, “Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa….? Ummi, cepat pulang ke rumah ummi…”

Bocah kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu apa yang harus dibuat . Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah. Akhirnya bocah itu berteriak memanggil bapaknya, “Abi…Abi…Abi…” Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapa ketika teringat petang kemarin bapanya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.

“Hai…siapa kamu?!” jerit segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati bocah tersebut. “Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi…” jawabnya memohon belas kasih. “Hah…siapa namamu bocah, coba ulangi!” bentak salah seorang dari mereka. “Saya Ahmad Izzah…” dia kembali menjawab dengan agak kasar. Tiba-tiba “Plak! sebuah tamparan mendarat di pipi si kecil. “Hai bocah…! Wajahmu tampan tapi namamu bodoh. Aku benci namamu. Sekarang kutukar namamu dengan nama yang lebih baik. Namamu sekarang ‘Adolf Roberto’…Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang buruk itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!” ancam laki-laki itu.”

Bocah itu mengigil ketakutan, sembari tetap menitikkan air mata. Dia hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi. Akhirnya bocah tampan itu hidup bersama mereka.

Roberto sadar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang ustaz. Ia mencari-cari sesuatu di pusat perut laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah ‘tanda hitam’ ia berteriak histeria, “Abi…Abi…Abi…” Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Fikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapanya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia jua ingat betul ayahnya mempunyai ‘tanda hitam’ pada bagian pusat perut.

Pemuda bengis itu terus meraung dan memeluk erat tubuh tua nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas tingkah-lakunya selama ini. Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun lupa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, “Abi… aku masih ingat alif, ba, ta, tsa…” Hanya sebatas kata itu yang masih terekam dalam benaknya.

Sang ustaz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyiksanya habis-habisan kini sedang memeluknya. “Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuhi Abi, tunjukkan aku pada jalan itu…” Terdengar suara Roberto meminta belas.

Sang ustaz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika setelah puluhan tahun, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, di tempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah.

Sang Abi dengan susah payah masih boleh berucap. “Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu,”

Setelah selesai berpesan sang ustaz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimah indah “Asyahadu anla Illaahailla llah, wa asyahadu anna Muhammad Rasullullah…’. Beliau pergi dengan menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang dibumi yang fana ini.

Kini Ahmah Izzah telah menjadi seorang alim Ulama di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agamanya, ‘Islam, sebagai ganti kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru berguru dengannya…” Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy.

Benarlah firman Allah…

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. 30:30)

only one

Broken this fragile thing now

And I can’t, I can’t pick up the pieces

And I’ve thrown my words all around

But I can’t, I can’t give you a reason

I feel so broken up (so broken up)

And I give up (I give up)

I just want to tell you so you know

Here I go, scream my lungs out and try to get to you

You are my only one

I let go, but there’s just no one that gets me like you

You are my only, my only one

Made my mistakes, let you down

And I can’t, I can’t hold on for too long

Ran my whole life in the ground

And I can’t, I can’t get up when you’re gone

And something’s breaking up (breaking up)

I feel like giving up (like giving up)

I won’t walk out until you know

Here I go, scream my lungs out and try to get to you

You are my only one

I let go, but there’s just no one that gets me like you

You are my only my only one

Here I go so dishonestly

Leave a note for you my only one

And I know you can see right through me

So let me go and you will find someone

Here I go, scream my lungs out and try to get to you

You are my only one

I let go, but there’s just no one, no one like you

You are my only, my only one

My only one

My only one

My only one

You are my only, my only one

kue coklat cornflakes

Bahan:

Coklat masak pekat

Cornflakes

Vanili(sedikit saja)

Cara membuat:

-Tim coklat hingga meleleh.

-Masukkan vanili,aduk rata.

-Masukkan cornflakes.

-Buat bulatan dengan 2 sendok.

-Simpan di kulkas.

-Sajikan dingin.

atau

Coklat Dark Compound Chocolate

margarin 2 sendok teh

Taburan sbg hiasan

Cara membuat:

* Potong-potong kecil coklat dan lelehkan bersama margarin dengan api kecil (jangan lupa di aduk aduk),
* Masukkan Corn Flakes,campur hingga rata.
* Tata corn flake yg masih basah tersebut ke dalam paper cup kecil kecil.
*

Beri taburan untuk hiasan
* Biarkan hingga mengeras.

Simple banget ^^

Empat Istri

Bismillahirrohmanirrohiim,,,

Suatu ketika, ada seorang pedagang kaya yang mempunyai 4 orang istri.

Dia mencintai istri yang keempat, dan menganugerahinya harta dan kesenangan yang banyak.

Sebab, dialah yang tercantik diantara semua istrinya. Pria ini selalu memberikan yang terbaik buat istri keempatnya ini.

Pedagang itu juga mencintai istrinya yang ketiga. Dia sangat bangga dengan istrinya ini, dan selalu berusaha untuk

memperkenalkan wanita ini kepada semua temannya.

Namun, ia juga selalu khawatir kalau istrinya ini akan lari dengan pria yang lain.

Begitu juga dengan istri yang kedua. Ia pun sangat menyukainya. Ia adalah istri yang sabar dan pengertian.

Kapanpun pedagang ini mendapat masalah, dia selalu meminta pertimbangan istrinya ini.

Dialah tempat bergantung. Dia selalu menolong dan mendampingi suaminya, melewati masa-masa yang sulit.

Sama halnya dengan istri yang pertama. Dia adalah pasangan yang sangat setia. Dia selalu membawa perbaikan bagi

kehidupan keluarga ini. Dia lah yang merawat dan mengatur semua kekayaan dan usaha sangsuami.

Akan tetapi, sang pedagang, tak begitu mencintainya.

Walaupun sang istri pertama ini begitu sayang padanya, namun, pedagang ini tak begitu mempedulikannya.

Suatu ketika, si pedagang sakit. Lama kemudian, ia menyadari, bahwa ia akan segera meninggal.

Dia meresapi semua kehidupan indahnya, dan berkata dalam hati. “Saat ini, aku punya 4 orang

istri. Namun, saat aku meninggal, aku akan sendiri. Betapa menyedihkan jika aku harus hidup sendiri.”

Lalu, ia meminta semua istrinya datang, dan kemudian mulai bertanya pada istri keempatnya. “Kaulah yang paling

kucintai, kuberikan kau gaun dan perhiasan yang indah. Nah, sekarang, aku akan mati, maukah kau mendampingiku dan menemaniku? Ia terdiam. “Tentu saja tidak, “jawab istri keempat, dan pergi begitu

saja tanpa berkata-kata lagi.

Jawaban itu sangat menyakitkan hati. Seakan-akan, ada

pisau yang terhunus dan mengiris-iris hatinya.

Pedagang yang sedih itu lalu bertanya pada istri ketiga.

“Akupun mencintaimu sepenuh hati, dan saat ini, hidupku akan berakhir.

Maukah kau ikut denganku, dan menemani akhir hayatku?

Istrinya menjawab, Hidup begitu indah disini. Aku akan

menikah lagi jika kau mati. Sang pedagang begitu terpukul dengan ucapan ini. Badannya mulai merasa demam.

Lalu, ia bertanya pada istri keduanya. “Aku selalu berpaling padamu setiap kali mendapat masalah. Dan kau selalu mau

membantuku. Kini, aku butuh sekali pertolonganmu. Kalau ku mati, maukah kau ikut dan mendampingiku? Sang istri menjawab pelan. “Maafkan aku,” ujarnya “Aku tak bisa menolongmu kali ini. Aku hanya bisa mengantarmu hingga ke liang kubur saja. Nanti, akan kubuatkan makam yang indah buatmu.

Jawaban itu seperti kilat yang menyambar. Sang pedagang kini merasa putus asa.

Tiba-tiba terdengar sebuah suara. “Aku akan tinggal denganmu. Aku akan ikut kemanapun kau pergi. Aku, tak akan

meninggalkanmu, aku akan setia bersamamu. Sang pedagang lalu menoleh ke samping, dan mendapati istri pertamanya disana. Dia tampak begitu kurus. Badannya tampak seperti orang yang kelaparan. Merasa menyesal, sang pedagang lalu bergumam, “Kalau saja, aku bisa merawatmu lebih baik saat ku mampu, tak akan kubiarkan kau seperti ini, istriku.”

Renungan :

Teman, sesungguhnya kita punya 4 orang istri dalam hidup ini.

Istri yang keempat, adalah tubuh kita. Seberapapun banyak waktu dan biaya yang kita keluarkan untuk tubuh kita supaya tampak indah dan gagah, semuanya akan hilang. Ia akan pergi segera kalau kita meninggal. Tak ada keindahan dan kegagahan yang tersisa saat kita menghadap-Nya.

Istri yang ketiga, adalah status sosial dan kekayaan.

Saat kita meninggal, semuanya akan pergi kepada yang lain.

Mereka akan berpindah, dan melupakan kita yang pernah memilikinya.

Sedangkan istri yang kedua, adalah kerabat dan teman-teman.

Seberapapun dekat hubungan kita dengan mereka, mereka tak akan bisa bersama kita selamanya.

Hanya sampai kuburlah mereka akan menemani kita.

Dan, teman, sesungguhnya, istri pertama kita adalah jiwa dan amal kita.

Mungkin, kita sering mengabaikan, dan melupakannya demi kekayaan dan kesenangan pribadi. Namun, sebenarnya, hanya jiwa dan amal kita sajalah yang mampu untuk terus setia dan mendampingi kemanapun kita melangkah. Hanya amal yang mampu menolong kita di

akhirat kelak.

Jadi, selagi mampu, perlakukanlah jiwa dan amal kita dengan bijak. Jangan sampai kita menyesal belakangan.

Mumpung masih hidup

Mumpung masih sehat

Mumpung masih longgar

Mumpung masih muda

Semoga Insya Allah

Jihad bersama Imam

Sebagian pihak menyebarkan syubhat bahwa hari ini tidak ada kewajiban jihad karena tidak ada imam syar’i (kholifah) padahal jihad harus bersama imam. Orang-orang yang berjihad tanpa adanya kholifah pada zaman ini ; berdosa, akan kembali kepada adzab Allah dan berarti menangkap anak panah dari kemurkaan Allah dan menusukkan ke dadanya sendiri (bunuh diri).

Jawaban :

Memang benar bahwa urusan jihad sebagai salah satu urusan dien menjadi tanggung jawab kholifah. Sebagaimana penegakkan hudud, sholat, zakat dan seluruh urusan dien lainnya, kholifahlah yang paling bertanggung jawab. Karena itu seluruh ulama Ahlu sunah wal jama’ah, seluruh ulama Khowarij, seluruh ulama Murji’ah dan seluruh ulama Mu’tazilah bersepakat bahwa umat Islam wajib hukumnya menegakkan kekhilafahan dan mengangkat seorang kholifah.

Kholifahlah yang mengirim pasukan jihad minimal sekali setiap tahunnya untuk melebarkan dakwah melalui jihad ke negara-negara kafir. Kholifah juga mengadakan mobilisasi umum jika kondisi menuntut dan kholifah juga mengangkat komandan-komandan jihad, berdasar beberapa hadits antara lain :

كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا أَمَّرَ أَمِيْرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِى خَاصَتِهِ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمَنْ مَعَهُ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرًا ثُمَّ قَالَ أُغْزُوْا بِسْمِ اللهِ فِى سَبِيْلِ اللهِ فَقَاتِلُوْا مَنْ كَفَرَ بِا للهَِ

Dari Buraidah radhiyallahu ‘Anhu ia berkata,” Rasulullah bila mengangkat seorang amir pasukan dan ekspedisi selalu memberi wasiyat khusus baginya dengan taqwa kepada Allah ‘Azza Wa Jalla dan kepada kaum muslimin lainnya untuk berbuat kebajikan. Lalu beliau bersabda,”Berperanglah dengan nama Allah, berperanglah fi sabilillah…!”

Namun terkadang dalam beberapa kondisi, kaum muslimin harus mengangkat sendiri komandan jihad tanpa adanya penunjukkan dari kholifah, contohnya dalam kondisi :

1- Komandan jihad yang telah diangkat oleh kholifah tidak ada (baik karena ditawan, terbunuh atau lemah) dan kaum muslimin tidak mempunyai kesempatan untuk kembali kepada kholifah untuk menerima pengangkatan komandan jihad baru, serta saat itu kaum muslimin tidak mempunyai beberapa komandan jihad secara tertib atau seluruh komandan jihad yang diangkat kholifah telah habis terbunuh.

2- Kaum muslimin atau sekelompok kaum muslimin mengadakan sebuah gerakan bersama (amal jama’i ; terutama tadrib militer dan jihad) sementara kaum muslimin saat itu tidak mempunyai kholifah. Seperti kondisi umat Islam saat ini.

Kaum muslimin harus mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai komandan jihad karena mereka tidak boleh beramal tanpa adanya seorang komandan. Rasulullah telah memberi mereka hak memimpin “ hendaklah mereka mengangkat salah seorang sebagai pemimpin فَلْيُؤَمِّرُوْا “dengan sabda beliau :

عَنْ أَبِي سَعِيْدِ الْخُدْرِي أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : إَذَا خَرَجَ ثَلاَثَةُ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ.

Dari Abu Sa’id al Khudri bahwasanya Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,” Jika tiga orang keluar dalam suatu safar hendaklah mereka mengangkat salah satu menjadi amir.” Dalam riwayat lain :

عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عُمَرُ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ:لاَ يَحِلُّ لِثَلاَثَةٍ يَكُوْنُوْنَ بِفَلاَةٍ مِنَ الأَرْضِ أَى أَمَرُوْا أَحَدَهُمْ.

Dari Abdullah bin Umar bahwasanya Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,” Tidak boleh bagi tiga orang yang berada di padang pasir (tanah yang kosong) kecuali mereka mengangkat salah seorang sebagai amir.”

Imam Syaukani berkata,” Jika disyariatkan mengangkat amir untuk tiga orang yang berada di tempat kosong (padang pasir) atau bersafar maka pensyariatannya untuk jumlah yang lebih besar yang menempati desa-desa dan kota-kota dan dibutuhkan untuk mencegah kezaliman dan menyelesaikan persengketaan lebih penting dan lebih wajib lagi. Karena itu hal ini menjadi dalil bagi yang berpendapat,” Wajib bagi kaum muslimin untuk menegakkan pemimpin, para wali dan penguasa.”

Ibnu Taimiyah berkata,” Jika Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan pengangkatan amir untuk jama’ah (kelompok) yang paling sedikit dan perkumpulan yang paling singkat maka ini artinya menyamakan wajibnya mengangkat amir untuk perkumpulan yang lebih besar dari itu.”

Pada perang Mu’tah, Rasulullah mengangkat tiga komandan jihad : Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abu Tholib dan Abdullah bin rowahah. Jika Zaid terbunuh, maka yang menggantikan adalah Ja’far. Jika Ja’far terbunuh, maka Abdullah menjadi penggantinya. Ketika ketiga komandan terbunuh, seluruh anggota pasukan sepakat mengangkat Kholid bin Walid sebagai komandan jihad, padahal Rasulullah sebagai kholifah sama sekali tidak, menunjuknya sebagai komandan keempat. Meski seluruh anggota pasukan tidak meminta persetujuan kholifah terlebih dahulu, Rasulullah ridho dengan perbuatan mereka dan bahkan menggelari Kholid dengan gelar saifullah.

Imam Ibnu Hajar berkata,” Dalam hadits ini ada dalil kebolehan mengangkat komandan dalam sebuah pertempuran meski tanpa ta’mir (pengangkatan dari kholifah). Imam Ath Thohawi mengatakan,” Hadits ini menjadi pokok landasan bahwa kaum muslimin harrus mengangkat seorang di antara mereka sebagai pengganti imam (kholifah) jika imam (kholifah) tidak ada sampai imam hadir.”

Ibnu Hajar berkata,” Imam Ibnu Munir berkata,” Disimpulkan dari hadits dalam bab ini bahwa orang yang ditunjuk memegang wilayah (kepemimpinan) sementara sulit untuk kembali (meminta persetujuan/pengangkatan—pent) terlebih dahulu kepada imam (kholifah), maka kepimpinan orang tersebut kokoh secara syar’i dan secara hokum ia wajib ditaati.” Demikianlah perkataan beliau, dan tidak tersembunyi lagi bahwa hal ini bila seluruh yang hadir telah sepakat mengangkat orang tersebut.”

Ibnu Qudamah berkata,” Jika imam tidak ada maka jihad tidak boleh ditunda karena maslahat jihad akan hilang dengan ditundanya jihad. Jika mendapat ghanimah maka orang yang mendapatkannya (berperang) membaginya sesuai aturan syar’i. Al Qadhi berkata,”Pembagian budak perempuan diakhirkan sampai adanya imam sebagai tindakan kehati-hatian karena berhubungan dengan hak biologis. Jika imam mengutus pasukan perang dan mengangkat seorang amir lalu ia terbunuh maka pasukan mengangkat seorang di antara mereka sebagai amir sebagaimana telah dilakukan para shahabat dalam perang Mu’tah ketika para amir yang diangkat Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam terbunuh. Mereka mengangkat Khalid bin Walid sebagai amir, lalu berita itu sampai kepada Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam maka beliau meridhai hal itu dan membenarkan pendapat mereka, lalu saat itu beliau menyebut Khalid sebagai saifullah.”

Barangkali ada yang menyanggah hadits perang Mu’tah dan keterangan imam Ath Thohawi, Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, Ibnu Munir, Ibnu Hajar dan asy Syaukani di atas dengan mengatakan bahwa pada perang Mu’tah masih ada kholifah, yaitu Rasulullah sementara umat Islam saat ini sama sekali tidak mempunyai kholifah. Syubhat baru mereka ini juga sangat nampak sekali kebatilannya. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh shahabat Ubadah bin Shomit tentang ba’iat para shahabat kepada Rasulullah, diterangkan :

وَ أَلَّا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ

“…dan agar kami tidak memberontak kecuali jika melihat kekafiran nyata yang menjadi alasan di sisi Alloh.”

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata,” Sesungguhnya seorang penguasa harus dipecat menurut ijma’ jika ia telah kafir. Pada saat itu wajib atas setiap muslim melakukan hal itu (memecatnya). Barang siapa mampu mengerjakannya ia mendapat pahala, sedang bagi berkompromi akan mendapatkan dosa. Bagi yang tidak mempunyai kekuatan wajib hijroh dari negeri tersebut.”

Jika seorang kholifah telah kafir, maka kepemimpinannya gugur secara syar’i dan umat Islam wajib berjihad menjatuhkannya dan mengangkat kholifah yang baru berdasar ijma’ ulama, seperti yang disebutkan oleh qadhi Iyadh, imam An Nawawi dan Ibnu Hajar. Lantas apakah kita akan mengatakan kita tidak akan memberontak kepada kholifah yang kafir karena kita tidak mempunyai kholifah ? Dari mana kita mempunyai kholifah kalau kholifahnya sendiri telah kafir dan kita berkewajiban melawannya ? Ataukah kita harus menunggu sampai turun kholifah yang ghoib dan membiarkan kaum muslimin dalam fitnah kekafiran dan kerusakan ? Hadits ini jelas dengan tegas menyatakan wajibnya berjihad melawan kholifah yang telah kafir. Bagaimana kaum muslimin berjihad melawan kholifah yang kafir padahal mereka tidak mempunyai kholifah ? Jawabannya secara syar’i adalah apa yang dicontohkan oleh para shahabat pada perang Mu’tah dan disetujui bahkan dipuji oleh Rasulullah, yaitu mengangkat salah seorang di antara mereka yang mempunyai kemampuan untuk memimpin jihad.

Sesungguhnya kondisi umat Islam tidak mempunyai kholifah bukan terjadi pada saat ini saja, namun sebelum inipun telah terjadi. Yang paling terkenal adalah masa kekosongan kholifah selama tiga tahun antara tahun 656 H ( tahun terbunuhnya kholifah Al Musta’shim di Baghdad di tangan tentara Tartar) sampai tahun 659 H (diangkatnya kholifah Abbasiyah pertama di Mesir). Meskipun tidak ada kholifah, kaum muslimin tetap menerjuni kancah jihad yang namanya paling harum sampai hari ini yaitu perang ‘Ainu jaluth tahun 658 H melawan tentara Tartar. Jihad tetap mereka kerjakan tanpa kebingungan,” Bagaimana kita harus berjihad padahal kholifah tidak ada?”. Sederet ulama besar masa itu hidup seperti sulthanul ulama’ syaikh Izzudin bin Abdu Salam dan Syaikhul Islam imam Ibnu Taimiyah, mereka mendukung sepenuhnya dengan fatwa dan keikut sertaan nyata di medan jihad. Bahkan komandan jihad umat Islam saat itu yaitu Saifudien Quthz mengangkat dirinya sendiri sebagai sultan Mesir dan ia memecat anak penguasa Mesir sebelumnya yang masih anak-anak. Seluruh qadhii dan ulama menyetujui dan membaiatnya, bahkan imam Ibnu Katsir menyebut peristiwa ini sebagai nikmat Allah kepada kaum muslimin karena dengan izin Allah, Saifudin Quthz menghancurkan tentara Tartar. Bahkan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebut pasukan Islam yang berjihad melawan Tartar di Mesir dan Syam inilah, kelompok umat Islam yang paling berhak masuk dalam golongan thoifah manshurah . Beliau juga menyebut umat Islam yang tidak berjihad melawan tentara Tartar sebagai thoifah mukhodzilah (kelompok penggembos), sementara tentara Tartar sebagai thoifah mukholifah (kelompok yang menyelisihi).

Yang mengherankan, syubhat ini disebarkan oleh orang-orang bahkan ulama yang menamakan dirinya ahlu sunah wal jama’ah. Padahal Rasulullah telah menyebutkan dalam hadits yang mutawatir tentang keberadaan thoifah manshurah yang senantiasa berjihad di atas kebenaran sampai hari kiamat, sementara di sisi lain Rasulullah juga menyebutkan akan adanya zaman di aman kaum muslimin tidak mempunyai kholifah. Jelas sekali berdasar hadits mutawatir ini, bahwa jihad fi sabilillah akan senantiasa berjalan sampai hari kiamat nanti meski kholifah tidak ada. Saat itulah kaum muslimin akan mengangkat seorang di antara mereka sebagai pemimpin jihad sebagaimana dikerjakan para shahabat pada perang Mu’tah dan saifudin Quthz pada perang ‘Ainu Jaluth. Bahkan tidak adanya kholifah merupakan salah satu faktor pendorong jihad untuk mengangkat seorang kholifah yang menegakkan dien dan mengatur dunia berdasar syariat Islam. Jalan selamat yang diterangkan oleh hadits mutawatir adalah setiap muslim berjihad bersama thoifah manshurah. Bila tidak, ia akan termasuk thoifah mukhodzilah atau bahkan thoifah mukholifah (kafir). Naudzu Billah. Seberapapun banyaknya syubhat yang disebarkan oleh thoifah mukhodzilah dan seberapapun besarnya makar yang dilancarkan oleh thoifah mukholifah, thoifah manshurah akan menang sampai hari kiamat nanti.

Dengan demikian jelaslah bahwa adanya imam syar’i yaitu khalifah bukan merupakan syarat wajibnya jihad. Ada khalifah atau tidak ada khalifah, kewajiban jihad tetap wajib dilaksanakan. Jihad akan senantiasa ada dan wajib dilaksanakan sampai hari kiamat, baik dengan adanya khalifah maupun tanpa adanya khalifah.

Syaikh Abdul Akhir Hammad Al Ghunaimi mengatakan,” Bahkan jihad tetap terlaksana meski kaum muslimin tidak mempunyai imam (kholifah), karena nash-nash syar’i telah memerintahkan jihad tanpa mensyaratkan adanya imam yang berkuasa, bukan seperti yang dikira oleh sebagian kaum kontemporer yang berpendapat demikian (wajib adanya kholifah baru jihad bias dilaksanakan). Dalam kondisi seperti ini, kelompok yang berjihad harus memeilih seorang amir yang sholih, mereka berperang di belakangnya.”

Terhadap para penggembos jihad yang menyebarkan syubhat tidak adanya jihad tanpa kholifah, Syaikh Abdurahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan :

“ Dengan kitab (ayat Al Qur’an) yang mana, atau dengan hujah yang mana (dikatakan) bahwa jihad itu tidak wajib kecuali bersama seorang imam (khalifah) yang diikuti ?.

Pensyaratan ini merupakan pengada-adaan dalam dien dan penyelewengan dari jalan kaum mukminin. Dalil-dalil yang membatalkan pensyaratan ini sangat terkenal untuk disebutkan. Di antaranya adalah keumuman perintah berjihad dan hasungan untuk berjihad serta ancaman meninggalkan jihad. Allah berfirman :

وَلَوْلَا دَفْعُ اللهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الْأَرْضُ

“ Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.” (2:251)

وَلَوْلَا دَفْعُ اللهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِمَتْ صَوَامِعُ

“ Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa,” (22:41).

Setiap orang yang berjihad di jalan Alah berarti telah mentaati Allah dan melaksanakan hal yang difardhukan oleh Allah. Seorang imam tidak akan menjadi imam kecuali dengan jihad. Jadi bukan tidak ada jihad tanpa adanya imam. Yang benar adalah kebalikan yang kamu katakan hai laki-laki. Allah telah berfirman :

قُلْ إِنَّمَا أَعِظُكُمْ بِوَاحِدَةٍ أَنْ تَقُوْمُوْا للهِ مَثْنَى وَفُرَادَى

Katakanlah: “Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; (34:46)

Allah juga berfirman:

وَمَنْ جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ

” Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (29:69)

Dalam hadits :

لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي …

“ Akan senantiasa ada sekelompok umatku…”. Thoifah (sekelompok umat Islam yang berjihad di atas kebenaran) ini, al hamdu lilah, ada dan berkumpul di atas kebenaran, mereka berjihad di jalan Allah dan tidak takut celaan orang-orang yang mencela. Allah berfirman :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآَئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَآءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“ Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (5:54). Maknanya Allah Maha Luas karunia dan pemberian-Nya, Maha Mengetahui siapa yang layak untuk berjihad.

Pengalaman-pengalaman dan dalil-dalil yang menunjukkan batilnya pernyataanmu sangat banyak sekali terdapat dalam Al Qur’an, as sunah, sirah dan akhbar. Perkataan para ulama yang mengerti dalil-dalil dan atsar hampir tidak tersembunyi (karena begitu jelasnya-pent) atas diri orang yang bodoh sekalipun, jika ia mengetahui kisah shahabat Abu Bashir ketika ia berhijrah, lalu orang-orang Quraisy menuntut Rasulullah untuk mengembalikan Abu Bashir kepada mereka berdasarkan syarat dalam perjanjian Hudaibiyah. Abu Bashir meloloskan diri dari mereka setelah membunuh dua orang musyrik yang datang untuk membawanya.

Ia kembali ke pantai ketika mendengar Rasulullah bersabda :

وَيْلُ أُمِّهِ مُسْعِرُ حَرْبٍ لَوْ كَانَ مَعَهُ غَيْرُهُ

“ Duhai ibunya, ia bisa menyalakan peperangan seandainya bersamanya ada orang lain.”

Maka Abu Bashir menghadang kafilah-kafilah Quraisy yang datang dari Syam. Ia merampas dan membunuh. Ia indipenden memerangi mereka tanpa Rasulullah, karena mereka terlibat perjanjian gencatan senjata dengan Rasulullah. –Beliau menceritakan kisahnya secara panjang lebar— Apakah Rasulullah bersabda kepada mereka (Abu Bashir dan kawan-kawan),” Kalian telah berbuat salah karena memerangi orang Quraisy tidak bersama imam ?

Subhanallah, alangkah besarnya bahaya kebodohan atas diri orang yang bodoh ? Kami berlindung kepada Allah dari menentang kebenaran dengan kebodohan dan kebatilan. Allah berfirman :

شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَاوَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ

“ Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.” (42:13)

Adalah lucu meninggalkan jihad dengan alasan tidak ada imam syar’i karena imam syar’i tidak akan ada bila tidak diangkat. Imam syar’i bukanlah hujan yang turun dari langit, ia akan ada dengan usaha dari umat Islam. Karena itu, umat Islam yang mampu berjihad harus tetap berjihad dan mereka mengangkat salah seorang di antara mereka yang capable sebagai imam (pemimpin) yang mengatur dan memimpin mereka. Pemimpin yang dipilih hendaklah yang paling mampu, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abdurahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab :

“ Setiap orang yang melawan musuh dan bersungguh-sungguh menahannya, maka ia telah berjihad, inim hal yang pasti. Setiap thoifah (kelompok) yang berbenturan dengan musuh-musuh Allah, mereka harus mempunyai pemimpin-pemimpin yang menjadi tepat kembali dan mengatur mereka. Sedang orang yang paling berhak memimpin adalah orang yang menegakkan dien, orang yang paling mampu kemudian orang yang kemampuannya dibawahnya, sebagaimana hal ini telah menjadi realita. Jika manusia mengikutinya, mereka bisa melaksanakan hal yang wajib, maka terjadilah saling menolong dalam kebajikan dan taqwa dan akan kuatlah urusan jihad. Adapun jika manusia tidak mengikutinya, maka mereka berdosa besar karena mereka menghinakan (menjadi sebab hinanya) Islam.

Adapun orang yang melaksanakannya (pemimpin kelompok jihad tadi), semakin sedikit pembantu dan penolongnya akan semakin besar pahala baginya sebagaimana ditunjukkan oleh al kitab, as sunah dan ijma’. Allah berfirman :

وَجَاهِدُوْا فِي اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ

“ Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” [Qs. Al Hajj:78].

وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا …

“ Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” [Qs. Al Ankabut :69].

أُذِنَ لِلَّذِيْنَ يُقَاتَلُوْنَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوْا..

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnaya mereka telah dianiaya.” [Qs. Al Hajj :39].

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ

“ Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya…” [Qs. Al Maidah ;54].

فَاقْتُلُوْا الْمُشْرِكِيْنَ….

“ Maka bunuhlah orang-orang musyrik…” [QS. At Taubah :5].

كَمْ مِنْ فِئَةٍ..

“ Berapa banyak kelompok yang sedikit mengalahkan kelompok yang banyak dengan idzin Allah.” [Qs. Al Baqarah :249].

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلَى الْقِتَالِ..

“ Wahai nabi, kobarkanlah semangat kaum beriman untuk berperang.” [QS. Al Anfal :65].

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ….

“ Diwajibkan atas kalian berperang.” [QS. Al Baqarah :216].

Tidak diragukan lagi, bahwa kewajiban jihad akan tetap ada sampai hari kiamat dan yang terkena kewajiban ini adalah kaum mukminin. Jika ada thoifah yang berkumpul an mempunyai kekuatan, kelompok ini wajib berjihad fi sabilillah sesuai kemampuannya. Sekali-kali kewajiban jihad tidak gugur dari kelompok tersebut, tidak juga gugur atas semua kelompok, berdasar ayat-ayat yang telah disebutkan, juga berdasar hadits “ Akan senantiasa ada sekelompok umatku.”

Maka dalam al kitab dan as sunah tidak ada dalil yang menunjukkan jihad itu gugur dalam suatu kondisi tertentu (seperti syubhat tidak ada khalifah—pent), atau jihad itu wajib satu pihak dan tidak wajib atas pihak yang lain, kecuali pengecualian yang disebutkan dalam surat al Baraah. Perhatikanlah firman Allah :

وَلَيَنْصُرَنَّ اللهُ مَنْ يَنْصُرُهُ

“ Dan Allah benar-benar akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya.” [Qs. Al Hajj :40].

وَمَن يَتَوَلَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْغَالِبُونَ

“Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” [Qs. Al Maidah :56].

Semua ayat ini menunjukkan makna umum tanpa pengkhususan, maka ke manakah perginya akal kalian dari Al Qur’an ini ? Engkau telah mengetahui dari penjelasan yang telah lewat bahwa khithab Allah mengenai setiap mukallaf baik yang terdahulu maupun orang yang belakangan, dan bahwasanya dalam Al Qur’an ada khithab tentang sebagian syariat dengan lafal yang khusus namun maksudnya umum , seperti firman Allah Ta’ala :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَ الْمُنَافِقِيْنَ

“ Wahai nabi, berjihadlah memerangi orang-orang kafir dan munafiq.” [Qs. At Taubah : 73].

Penjelasan tentang hal ini telah lewat, Al hamdu lillah, hal ini telah diketahui di kalangan ulama, bahkan di kalanagn setiap orang yang belajar ilmu dan hukum. Karena itu kami cukupkan dengan penjelasan ini saja. Wabillahi Taufiq.”

Syaikh Abu Bashir Musthofa Abdul Mun’im Halimah menerangkan kebatilan pensyaratan jihad harus bersama kholifah ini dengan menyebutkan berbagai dalil ::

* Firman Allah Ta’ala :

فَقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا تُكَلَّفُ إِلَّا نَفْسَكَ وَحَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَكُفَّ بَأْسَ الَّذِينَ كَفَرُوا وَاللَّهُ أَشَدُّ بَأْساً وَأَشَدُّ تَنْكِيلاً

“Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan(Nya).” [QS. An Nisa’ :84].

Ini adalah nash yang menunjukkan bahwasanya jihad akan tetap berlanjut meskipun oleh seorang secara sendirian !!! Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan,” Maknanya janganlah kamu meninggalkan jihad melawan musuh dan melawan mereka demi menolong kaum mukmin yang tertindas, sekalipun kamu hanya sendirian karena Allah telah memberi janji beliau dengan kemenangan. Imam Az Zujaj berkata,” Allah Ta’ala memerintahkan Rasul-Nya untuk berjihad sekalipun ia berperang sendirian karena Allah telah menjamin beliau akan meraih kemenangan. Imam Ibnu ‘Athiyah berkata,” Inilah makna dhahir lafal ayat, hanya saja tidak ada sebuah haditspun yang menunjukkan bahwa jihad wajib atas beliau saja dan tidak wajib atas umatnya untuk suatu masa tertentu. Makna ayat ini, wallahu a’lam, bahwasanya khithab ayat ini secara lafal ditujukan kepada beliau. Ini seperti perkataan yang ditujukan kepada perorangan. Artinya, kamu wahai Muhammad dan setiap orang dari umatmu, katakan kepadanya “Berperanglah di jalan Allah, engkau tidak dibebani kecuali atas dirimu sendiri.”

Karena itu sudah sewajarnya bagi setiap mukmin untuk berperang walaupun sendirian. Ini ditunjukkan juga antara lain oleh sabda Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam :

وَاللهِ لَأُقَاتِلَنَّهُمْ حَتَّى تَنْفَرِدَ سَالِفَتِيْ

“ Demi Allah, aku akan tetap memerangi mereka meski tinggal leherku saja (bahasa kiasan untuk mati).” Juga perkataan Abu Bakar saat terjadi peristiwa kemurtadan penduduk arab,”Seandainya tangan kananku menyelisihku, aku akan tetap berjihad melawan mereka dengan tangan kiriku.”

* Allah berfirman :

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْداً عَلَيْهِ حَقّاً فِي التَّوْرَاةِ وَالْأِنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.“ [QS. At Taubah :111].

Jual beli ini telah sempurna, mencakup seluruh rentang masa hidup orang mukmin, tidak boleh dinihilkan ataupun dibiarkan dalam satu masa tanpa masa yang lain.

Karena itu barang siapa mensyaratkan adanya khalifah umum untuk menghidupkan faridzah jihad, berarti konskuensinya ia membatalkan akad jual beli yang telah terjadi di antara Allah dan hamba-hamba-Nya ini…selama rentang masa tidak adanya khalifah selama puluhan tahun yang mengakibatkan binasanya beberapa generasi secara keseluruhan sperti kondisi zaman kita sekartang ini!!!

Dengan hak atau kekuasaan apa dikatakan kepada generasi-generasi umat Islam (saat ini),” Kalian termasuk pengecualian dari jual beli ini selama masa tidak adanya khalifah, yang kadang berlanjut lebih dari seratus tahun ???

* Dalam hadits :

سلمة بن نفيل الكندي، قال: كنت جالساً عند رسول الله ، فقال رجل: يا رسول الله، أزال الناس الخيل، ووضعوا السلاح، وقالوا: لا جهاد، قد وضعت الحرب أوزارها‍‍‍‍! فأقبل رسول الله بوجهه وقال :” كذبوا! الآن، الآن جاء القتال، ولا يزال من أمتي أمة يقاتلون على الحق، ويزيغ الله لهم قلوب أقوام ويرزقهم منهم، حتى تقوم الساعة، وحتى يأتي وعد الله، والخيل معقود في نواصيها الخير إلى يوم القيامة “[ ].

Dari Salamah bin Nufail Al Kindi ia berkata,’ Saya duduk di sisi Nabi, maka seorang laki-laki berkata,” Ya Rasulullah, manusia telah meninggalkan kuda perang dan menaruh senjata. Mereka mengatakan,” Tidak ada jihad lagi, perang telah selesai.” Maka Rasulullah menghadapkan wajahnya dan besabda,” Mereka berdusta !!! Sekarang, sekarang, perang telah tiba. Akan senantiasa ada dari umatku, umat yang berperang di atas kebenaran. Allah menyesatkan hati-hati sebagian manusia dan memberi rizki umat tersebut dari hamba-hambanya yang tersesat (ghanimah). Begitulah sampai tegaknya kiyamat, dan sampai datangya janji Allah. Kebaikan senantiasa tertambat dalam ubun-ubun kuda perang sampai hari kiamat.”

Beliau juga bersabda:

لا تزال طائفة من أمتي يُقاتلون على الحق ظاهرين إلى يوم القيامة

” Akan senantiasa ada sekelompok umatku yang berperang di atas kebenaran, mereka menang sampai hari kiamat.” [HR. Muslim].

Kata “thoifah /kelompok/golongan” dipakai untuk satu orang atau lebih, seperti firman Allah :

إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ (التوبة:66. )

“Jika Kami mema’afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) di sebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” [QS. At Taubah :66].

Imam Ath Thabari mengatakan,” Disebutkan bahwa yang dimaksud dengan thoifah (kelompok) dalam tempat ini adalah seorang laki-laki. Ibnu Ishaq mengatakan,’ Yang dimaksud dengan ayat ini menurut berita yang sampai kepadaku adalah Makhsiy bin Humayyir Al Asyja’I, sekutu Bbani Salamah. Ia dimaafkan karena mengingkari sebagian yang ia dengar. Muhammad bin Ka’ab mengatakan,” Ath Thoifah adalah seorang laki-laki.”

Dalam tafsirnya imam Al Qurthubi mengatakan,” Dikatakan bahwa mereka berjumlah tiga orang. Dua orang mengejek dan seorang lagi hanya tertawa. Yang dimaafkan adalah seorang yang tertawa dan tidak berkata.”

Kelompok yang dimaafkan hanya beranggotakan seorang saja, dan kita telah menyaksikan jihad tetap berjalan meski pelakunya hanya seorang saja. Seorang dengan kesendiriannya disebut thoifah (kelompok). Jika memang demikian, maka bagaimana mungkin adanya seorang kholifah menjadi syarat berjalannya jihad ??? Rasulullah bersabda :

وقال :” لن يبرح هذا الدين قائماً يُقاتل عليه عصابةٌ من المسلمين حتى تقوم الساعة ” مسلم.

“ Dien ini akan senantiasa tegak, sekelompok umat Islam berperang di atas dien ini sampai tegaknya hari kiamat.” [HR. Muslim].

Kata ‘Ishobah (kelompok) disebutkan untuk menunjukkan jumlah tiga dan seterusnya, jika perang membela dien dan kehormatan dien ini terlaksana dengan kelompok yang beranggotakan tiga orang atau lebih, maka bagaimana mungkin adanya seorang kholifah menjadi syarat terlaksananya jihad ? Bagaimana mungkin adanya seorang kholifah menjadi syarat dilaksankaannya jihad padahal jihad tetap terlaksana oleh seorang, oleh tiga orang atau lebih, sebagaimana disebutkan oleh hadits-hadits ini ? Rasulullah bersabda :

وقال :” الخيل معقود بنواصيها الخير إلى يوم القيامة؛ الأجر والغنيمة ” مسلم.

“ Kuda itu tertambat pada ubun-ubunnya kebaikan hingga hari kiamat : pahala dan ghonimah.” [HR. Muslim]. Hadits ini berlaku untuk zaman ada kholifah dan zaman tidak ada kholifah, tak ada sesuatu hal pun yang bisa menghentikannya.

وقال :” إن الهجرة لا تنقطع ما كان الجهاد “[. وفي رواية:” لا تنقطع الهجرة ما جوهد العدو “.

Beliau juga bersabda,” Hijrah tak akan berhenti selama masih ada jihad.” Dalam riwayat lain,” Hijrah tak akan berhenti selama musuh masih diperangi.” Sebaliknya, beliau juga bersabda:

” لا تنقطع الهجرة حتى تنقطع التوبة، ولا تنقطع التوبة حتى تطلع الشمس من مغربها “.

“ Hijrah tak akan berhenti sampai taubat terhenti. Taubat tak akan terhenti sampai matahari terbit dari barat.”

Ini menguatkan bahwa jihad tak akan berhenti sampai taubat berhenti, sementara taubat tak akan berhenti sampai matahari terbit dari barat, hari di mana “ iman seseorang tidak memberinya manfaat karena sebelumnya ia tidak beriman” [Qs. Al An’am :158]. Karena hijrah akan senantiasa ada selama jihad masih ada berdasar dilalah nash. Jika kita nyatakan jihad terhenti dengan tidak adanya kholifah, maka konskuensinya hijrah juga terhenti, konskuensi selanjutnya taubat juga terhenti. Pendapat ini jelas tidak boleh karena menyelisihi dalil-dalil yang shorih (tegas) dan ijma’ umat.

Adapun dilalah mafhum nash, As sunah menunjukkan adanya mujahidin —yang merupakan thoifah manshurah—dan keberadaan mereka yang akan terus berlangsung sampai hari kiamat. Eksistensi mujahidin sampai hari kiamat ini mengandung konskuensi terus berlangsungnya jihad—salah satu sifat thaoifah manshurah—tanpa terhenti. Jika secara dhohir jihad, yang ada adalah i’dad untuk jihad dan i’dad merupakan bagian dari jihad. Kewajiban i’dad sama dengan kewajiban jihad karena jihad tak akan sempurna tanpa i’dad, sementara qaidah menyatakan “ Suatu kewajiban bila tidak sempurna kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu hukumnya juga wajib.” Seorang muslim hanya mempunyai dua pilihan; antara berjihad fi sabilillah atau beri’dad untuk jihad saat kewajiban jihad gugur karena kelemahan (tidak ada kemampuan)…Ia tidak mempunyai pilihan ketiga.

* Sunah menunjukkan wajibnya melawan kholifah yang telah kafir dan wajibnya mengangkat kholifah muslim yang baru. Jika jihad harus bersama kholifah, sementara kholifahnya telah kafir ; maka bagaimana cara jihad melawan dan menjatuhkan kholifah yang kafir tersebut ? Siapa yang berjihad melawan dan menjatuhkan kholifah yang kafir tersebut ? Kholifah –padahal dia telah kafir—ataukah umat Islam tanpa bersama kholifah yang kafir ? Tentu saja umat Islam tanpa bersama kholifah yang kafir tersebut.”

Syaikh Ibrahim Al Khudry berkata,” Jika ada yang bertanya,” Jihad hanya boleh diserukan oleh seorang Imam ( kholifah), sementara pada hari ini kaum muslimin telah terpecah belah, tiap-tiap wilayah dipimpin oleh imam ( penguasa ) masing-masing. Lalu siapakah yang berhak menyerukan panggilan jihad ?.”

Jawabannya:

Al hamdulillah. Jika Imam suatu wilayah telah menyerukan panggilan jihad, wajib bagi wilayah penduduk tersebut berperang melawan kaum kafir. Demikian pula Imam suatu wilayah lain, wajib bagi segenap kaum muslimin untuk menyambut panggilan tersebut. Jika kaum mujahidin dipimpin oleh seorang Amir, lalu Amir tersebut menyerukan panggilan jihad, mereka wajib mentaatinya. Hingga sekarang keamiran seperti itu masih ada dan akan tetap ada sampai akhir zaman. Contohnya di wilayah Afganistan.

Syubhat tidak ada jihad selama tidak ada kholifah merupakan syubhat yang sangat berbahaya.

1- Syubhat ini sama sekali tidak berdasar dalil baik Al Qur’an, As Sunah, ijma’ salaf maupun perkataan para ulama salaf. Bahkan bertentangan dengan nash-nash tegas Al Qur’an, hadits mutawatir dan ijma’ salaf.

2- Syubhat ini sebenarnya merupakan aqidah kaum Rafidzah. Imam Ath Thohawi berkata,” Haji dan jihad akan tetap berjalan bersama para pemimpin kaum muslimin, baik pemimpin yang bijaksana maupun yang jahat, tak ada sesuatupun yang bisa membatalkannya.” Imam Ibnu Abil Izz Al Hanafy menjelaskan perkataan ini dengan mengatakan,” Syaikh mengisyaratkan bantahan atas kaum Rofidzah di mana mereka mengatakan,” Tidak ada jihad fi sabilillah sampai keluar ar ridho dari keturunan Nabi Muhammad dan seorang penyeru menyeru dari langit,” Ikutilah dia !” Kebatilan pendapat ini sudah jelas sekali sehingga tak perlu lagi ditunjukkan dalil yang menunjukkan kebatilannya.” Ketika aqidah ini memberatkan mereka sendiri, mereka tidak konskuen dengan aqidah ini, di mana mereka tetap mengadakan revolusi Khomeini dan mengadakan pemerintahan dengan nama “wilayatul Faqih.” Pelopor lain yang menyebarkan syubhat ini adalah Ahmad Ghulam Al Qodiyani, si nabi palsu India yang mengabdi kepada imperialis Inggris.

3- Yang memetik keuntungan terbesar dari syubhat ini adalah tentara imperialis salibis, zionis, komunis dan pemerintah-pemerintah sekuler di dunia Islam yang memusuhi Islam dan loyal kepada negara kafir barat.

4- Syubhat ini berarti mensalahkan dan mencela (jarh) salafush sholih dan para ulama yang tsiqot :

– Berarti menuduh para shahabat yang berjihad tanpa izin kholifah ketika kholifah ada dengan tuduhan berbuat dosa, berhak mendapat adzab Allah dan bunuh diri. Shahabat yang tertuduh adalah Abu Bashir dan kawan-kawan. Karena saat itu kholifah mengikat gencatan senjata 10 tahun dengan kafir Quraisy.

– Berarti menuduh Husain bin ali dan Abdullah bin Zubair serta seluruh shahabat dan tabi’in yang membela keduanya sebagai pelaku dosa besar (bunuh diri, maksiat kepada imam), padahal saat itu tidak ada kholifah syar’i yang umum atas seluruh kaum muslimin.

– Demikian juga daulah Umawiyah, Abbasiyah dan Utsmaniyah telah melewati beberapa masa di mana mereka mengadakan jihad padahal kondisi belum pulih sehingga mereka tidak bisa dikatakan sebagai kholifah umum bagi seluruh kaum muslimin. Meski demikian, tak seorang ulama pun yang mengatakan jihad mereka tidak masyru’ dengan alasan jihad mereka tidak berasal dari izin kholifah umum.

– Berarti menuduh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan pengikut beliau yang berjihad melawan Tartar, serta syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab yang berjihad memberantas kesyirikan di Nejed, sebagai orang-orang berdosa karena berjihad tanpa izin kholifah dan mereka berada di neraka Jahannam karena maksiat kepada kholifah dan melakukan aksi bunuh diri.

– Berarti menuduh jihad umat Islam yang mengusir imperialis kafir seperti di Palestina, Afghanistan, Chechnya, Moro, Patani, Kashmir dan lain-lain sebagai sebuah perbuatan haram, maksiat dan bunuh diri. Artinya harus menyerahkan tanah air kepada musuh Islam dengan suka rela.

– Berarti mengajak umat untuk meninggalkan jihad dan tenggelam dengan kenikmatan dunia, sampai nanti datangnya kholifah.

Sumber : http://annajahsolo.wordpress.com/2010/03/05/jihad-bersama-imam/

Hello world!

Welcome to WordPress.com. After you read this, you should delete and write your own post, with a new title above. Or hit Add New on the left (of the admin dashboard) to start a fresh post.

Here are some suggestions for your first post.

  1. You can find new ideas for what to blog about by reading the Daily Post.
  2. Add PressThis to your browser. It creates a new blog post for you about any interesting  page you read on the web.
  3. Make some changes to this page, and then hit preview on the right. You can alway preview any post or edit you before you share it to the world.